Cursor 9 Blogger Widgets Cursor 9 Blogger Widgets Cursor 9 Blogger Widgets Cursor 9 Blogger Widgets

dftyh

- See more at: http://blog.ahmadrifai.net/2012/03/membuat-menu-serta-sub-menu-tanpa.html#sthash.BZ5CBrY7.dpuf

Minggu, 12 April 2015

PERKEMBANGAN KEILMUAN ISLAM DIINDONESIA


PERKEMBANGAN KEILMUAN ISLAM DIINDONESIA
1.      Perkembangan Ilmu Fiqih
      Dalam sejarah Islam di Indonesia, gagasan purifikasi pernah menjadi agenda penting dari kelompok Islam modernis. Gerakan ini memfokuskan untuk menghilangkan seluruh budaya masyarakat yang dianggap mengandung unsur takhayul, bid’ah dan khurafat. Model purifikasi ini berusaha untuk melenyapkan keberadaan budaya lokal yang sudah turun-temurun yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Akan tetapi, titik tolak dari apa yang dinamakan ajaran Islam dikembalikan pada konsep yang ada pada zaman Nabi. Hal ini kemudian berimplikasi pada pelenyapan seluruh tradisi masyarakat Indonesia dan pengukuhan tradisi Arab yang dianggap sebagai tradisi Islam. Gagasan tersebut pada masa sekarang kembali muncul dari gerakan fundamentalis yang tumbuh subur di Indonesia. Mereka berusaha menerapkan syari’ah Islam dan ajaran Islam secara kaffah. Sebagaimana para pendahulunya, titik tolak dari apa yang disebut ajaran Islam, dikembalikan pada konsep yang ada pada zaman Nabi. Fenomena ini menumbuhkan berbagai implikasi dari perilaku mereka dalam bermasyarakat. Dalam hal busana misalnya, mereka berusaha mencontoh Nabi dengan menggunakan jubah ala Arab
. Kemudian mereka juga memelihara jenggot, bercadar, menggunakan tema-tema Arab sebagai pengganti dari tema lokal dan lain sebagainya. Dengan munculnya fenomena ini, tentunya eksistensi budaya lokal menjadi terpinggirkan. Gerakan modernisme berusaha menghilangkan budaya selamatan, musik gamelan dan banyak tradisi lokal yang dianggap berbau Hindu dan kejawen. Gerakan Islam fundamentalis berusaha menghilangkan seluruh budaya lokal dan menggantinya dengan sistem ajaran Islam model Arab masa Nabi.[3]
Munculnya fenomena di atas memunculkan kegelisahan dari beberapa pemikir di Indonesia. Gagasan-gagasan untuk membentuk karakter hukum Islam yang bersifat lokal tergagas dalam pemikiran para intelektual muslim. Hasbi as-Shiddiqy misalnya yang pernah mencoba mengintrodusir gagasan fiqh Indonesianya. Dalam hal ini Hasbi ash-Shiddiqy terpengaruh oleh adanya konsep fiqh Hijaz, fiqh Mesir dan fiqh - fiqh lokal lainnya yang muncul di beberapa negara muslim. Keprihatinan Hasbi as-Shiddiqy juga terkait dengan ketidakmampuan ulama Indonesia untuk berijtihad sesuai dengan kepribadian Indonesia, sehingga sering kali mengaplikasikan fiqh Mesir atau fiqh Hijaz di masyarakat atas dasar taklid.[4] Lebih lanjut, dengan kelemahan ulama Indonesia yang tidak mampu melahirkan fiqh yang berkepribadian Indonesia dan menyadari ketidakmungkinan akan munculnya pemikiran progresif dari kalangan ulama konservatif, Hasbi kemudian mengajak elemen Perguruan Tinggi Indonesia untuk mencetak kader-kader mujtahid yang akan meneruskan proyek fiqh Indonesia.[5]
Salah satu yang menarik untuk dicermati, bahwa untuk membentuk fiqh Indonesia, Hasbi as-Shiddiqy menekankan pentingnya kesadaran dan kearifan untuk melakukan refleksi historis atas pemikiran hukum Islam pada masa awal perkembangannya. Perspektif ini mengajarkan bahwa hukum Islam baru bisa berjalan dengan baik jika ia sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat, yakni hukum yang dibentuk oleh kesadaran lingkungan, atau dengan kebudayaan dan tradisi setempat. Dalam hal inilah Hasbi as-Shiddiqy mengkonsepsikan bahwa mempertimbangkan kehadiran tradisi (adat, ‘urf) setempat sebagai acuan pembentukan sebuah format hukum Islam baru menjadi satu keniscayaan.[6]
Konsepsi ini dilandasi oleh pemikiran egalitarianisme Islam yang berkonsekuensi bahwa semua ‘urf  dalam masyarakat dapat dijadikan sumber hukum. Dengan demikian hal ini menafikan ‘urf dari masyarakat Arab saja yang bisa menjadikan podasi dalam perumusan hukum. Bagi Hasbi as-Shiddiqy, semua ‘urf selama tidak bertentangan dengan prinsip ajaran Islam dan dalam batas-batas tertentu dapat diterima sebagai sumber hukum Islam.[7] Selain itu, Abdurrahman Wahid juga mengonsepkan adanya pribumisasi Islam. Pribumisasi Islam dimaknai sebagai upaya untuk mengokohkan kembali akar budaya kita, dengan tetap berusaha menciptakan masyarakat yang taat beragama. Dalam pemikirannya, Wahid mencoba memosisikan Islam dan budaya lain dalam posisi dialogis. Dalam hal ini Abdurrahman Wahid menegaskan bahwa antara Islam dan paham pemikiran lain atau budaya lain berlangsung proses saling mengambil dan saling belajar. Konsekuensi logis dari keterbukaan seperti ini adalah keharusan untuk mendudukkan Islam hanya sebagai faktor penghubung antara berbagai budaya lokal. Dalam melayani semua budaya lokal itu (akan) menumbuhkan universalitas pandangan baru tanpa tercabut dari akar kesejarahan masing-masing.[8] Dengan dasar demikian, Abdurrahman Wahid menolak gerakan “Islamisasi”, dan “Arabisasi” atau “formalisasi ajaran Islam dalam ranah budaya”. Sejak awal, Abdurrahman tidak menjadikan Islam sebagai alternatif. Konsekuensinya, segenap ajaran agama yang telah diserap oleh kultur lokal tetap dipertahankan dalam bingkai lokalitas tersebut. [9]
Dari kedua gagasan tersebut, paling tidak dapat ditarik dua paradigma penting hukum Islam yang harus diambil dalam proses membentuk hukum Islam khas Indonesia, yaitu; pertama, kontekstual. Yakni Islam dipahami sebagai ajaran yang terkait dengan dimensi zaman dan tempat. Konsekuensinya, perubahan zaman dan tempat menjadi meniscayakan untuk melakukan penafsiran dan ijtihad. Dengan kemampuan melakukan adaptasi inilah sesungguhnya Islam bisa benar-benar salih li kulli zaman wa makan; kedua, menghargai tradisi lokal. Karakter ini dibangun dari kenyataan sejarah bahwa Islam tidak dapat dilepaskan dari tradisi masyarakat pra-Islam. Bahkan dalam faktanya, Islam telah mengadopsi tradisi-tradisi lokal yang berkembang di masyarakat Arab. Dengan demikian, Islam memosisikan tradisi lokal bukan dalam posisi obyek yang harus ditaklukkan, tetapi Islam memosisikannya dalam dimensi dialogis
Kedua hal tersebut, dalam kenyataannya sering kali dilupakan. Implikasinya, hukum Islam masa Nabi Muhammad SAW dipahami sebagai konstruksi hukum yang datang dari langit dan terlepas dari konteks sosiokultural yang ada di masyarakat Arab. Bahkan lebih dari itu, hukum Islam zaman Nabi Muhammad SAW dipahami sebagai citra ideal yang harus diaplikasikan di seluruh kondisi zaman dan tempat. Sebagai misal adalah terkait dengan jilbab di Indonesia. Dalam penggunaannya, apa yang dimaksud dengan jilbab sering kali dipahami sebagai apa yang digunakan oleh masyarakat Arab. Hal ini tentunya kurang tepat karena jilbab bagi masyarakat Indonesia seharusnya disesuaikan dengan kondisi, situasi dan budaya Indonesia. Setiap daerah di Indonesia mempunyai kebiasaan yang berbeda dalam berpakaian. Di samping itu, mereka juga mempunyai pakaian tradisional tersendiri, seperti kebaya yang banyak digunakan oleh masyarakat Jawa dan baju kurung yang ada di Minang. Kalau dilihat, karakter pakaian tersebut hampir mirip dengan jilbab gaya Arab. Bedanya hanya berkaitan dengan masalah penutup kepala. Hal ini dapat dimengerti, berkaitan dengan karakter masyarakat Indonesia yang memandang daerah kepala sebagai bagian yang biasa nampak. Hal tersebut tentunya sangat berlainan dengan keadaan di daerah lain, khususnya Jazirah Arab. Perbedaan inilah yang seharusnya menjadikan dasar untuk merumuskan hukum, sesuai dengan kaidah “al-hukm yadur ma’al ‘illat wujudan wa ‘adaman”. 
2.      Perkembangan Teologi
 Secara historis, teologi islam yang di Barat dikenal dengan istilah teologi bermula sebagai sebuah advokasi keagamaan terhadap ketimpangan sosial (teologi sebagai sebuah axiologi/Theology as Axiology) yang berkembang pada masanya. Untuk kepentingan ini, doktrin keagamaan diinterpretasikan secara rasional, sehingga dapat dijadikan argumen teologis untuk membacking pemikiran/gagasan/idea yang substansinya menentang ketimpangan sosial yang sedang terjadi. Terhadap masalah ini, Philip Bob Cock menyatakan Theology is (A) Rational interpretation of religious faith, practice, and exercise (teologi yaitu upaya memahami keyakinan, perbuatan, dan pengalaman keagamaan secara rasional).[10]
Belakangan, teologi berkembang menjadi sebuah metodologi (Theology as Method). Sebagai sebuah metodologi/pendekatan, teologi merupakan salah satu di antara beberapa pendekatan yang telah digunakan oleh para ahli sains masa lalu. Di dalam perkembangannya, pendekatan ini juga digunakan oleh para ahli keislaman. Seorang pakar yang banyak mengkaji Perbandingan Agama  menyatakan bahwa Theological method must always be a secondary matter for comparative theology, subsidiary to converse interpretations of the specific symbols of a particular religious tradition. It is helpful, therefore, to reflect on what kind of general theological method may be contemporary comparative theologians despite otherwise sharp differences among them.[11]
Pada masa-masa berikutnya, barulah teologi berkembang menjadi sebuah disiplin ilmu (Theology as Science). Sebagai sebuah disiplin ilmu, di dunia islam, teologi islam17 berkembang sejak Abu Hasyim dan kawannya Imam al-Hasan bin Muhammad bin Hanafiah, para tokoh Mu’tazilah. Adapun orang pertama yang membentangkan pemikiran ilmu kalam secara lebih baik lewat logikanya yaitu Imam al-Asy’ari, seorang tokoh teologi Suni, dengan karya yang terkenal al-Maqalat, juga al-Ibanah ‘an ushul al-diyanah. Teologi ini selain mempunyai obyek kajian tersendiri, yaitu membicarakan ketuhanan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan-Nya, maksudnya keyakinan kebenaran keagamaan islam; ilmu ini juga telah tersusun dengan baik/tersistematisasikan di dalam membahas obyek kajian itu; dan mempunyai metodologi tersendiri yaitu dialog ilmiah keagamaan, serta dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan salah satu dari tiga unsur keimanan seorang Muslim, yaitu dalam aspek nuthqun bi al-lisan.[12]
Berkenaan dengan itu,  di dunia Barat seorang teolog, menyatakan bahwa di dalam teologi berkembang istilah Teologica Systematika. Teologi ini menguraikan tentang dogmatika, etika, dan filsafat agama. Ada juga istilah Teologia Historica. Teologi ini menguraikan tentang kitab suci, sejarah Gereja, sejarah dogma, dan sejarah agama. Juga ada istilah Teologia Practica. Teologi ini menguraikan tentang homeletik, katechetik, dan liturgi. Pada akhir-akhir ini teologi islam, telah berusaha menjadi sebuah advokasi bagi permasalahan sosial, atau teologi menjadi sebuah axiologi. Hal ini tampak dengan berkembangnya istilah-istilah seperti teologi feminisme, teologi gender, teologi kemiskinan, teologi kaum tertindas, teologi transformatif, teologi pembebasan, dan berbagai macam istilah lagi. Semua peristilahan itu pada dasarnya merupakan sebuah kajian ilmiah yang di dalamnya berbicara mengenai ayat-ayat Al-Qur’an dan sunah Rasul-Nya sebagai sumber primer keagamaan islam yang  secara tematik  mengadvokasi hal-hal yang berkait dengan ketimpangan sosial.[13]
3.      Perkembangan  Tasawuf
         Menelusuri mewabahnya aliran ini di Indonesia, maka hal ini tidak lepas dari pada peran andil orang-orang yang melakukan studi (belajar) ke negara Timur tengah. Lebih khusus lagi adalah Arab Saudi yang pada waktu itu belum diwarnai dengan gerakan tajdid (pembaharuan) yang dipelopori oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab ( Beliau lahir pada tahun 1115 H / 1695 M dan meninggal pada tahun 1206 H / 1786 M). Di antara para pelopor berkembangnya aliran tasawuf di Indonesia, sebagaimana yang disebutkan di beberapa literatur di antaranya adalah : Nuruddin Ar-Raniri ( wafat tahun 1658 M ), Abdur Rouf as-Sinkili (1615 -1693 M ), Muhammad Yusuf al-Makkasary ( 1629-1699 M). Mereka  belajar di kota Makkah dan melakukan kontak keilmuan dengan para syaikh dari mancanegara yang bermukim di kota Makkah. Di antara para syaikh itu adalah Ahmad al-Quraisy, Ibrohim al-Kuroni dan Muhammad al-Barzanji. Abdurrouf as-Sinkili setelah belajar beberapa lama kemudian diangkat sebagai khalifah Tarekat Syatariyah oleh Muhammad Al-Quraisy. Dirinya kembali ke Aceh setelah gurunya meninggal. Keberadaannya di tanah Aceh cukup dipandang oleh para penduduk bahkan dijadikan sebagai panutan di masyarakat, bermodal kepercayaan yang telah diberikan masyarakat kepadanya serta kegigihan murid-muridnya, maka dengan mudahnya ia berhasil mengembangkan ajaran Thariqot Sufiyahnya dengan perkembangan yang sangat pesat hingga paham itu tersebar sampai ke Minangkabau (Sumatra Barat). Salah satu murid Abdur Rouf as-Sinkili yang berhasil menyebarkan paham ini adalah Burhanuddin. [14]
Setelah meninggal kuburan Burhanuddin ini menjadi pusat ziarah di mana para penziarah itu melakukan praktek peribadatan yang aneh. Timbulnya aliran yang aneh ini menimbulkan pertentangan yang tajam, terutama setelah beberapa orang yang datang dari Arab Saudi yang pada waktu itu sudah terwarnai dengan aliran pembaharuan (Ahlusunnah wal jama'ah) yang dibawa oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab. Pertentangan ini berlanjut yang pada akhirnya pecah perang Padri. Demikianlah jejak pemahaman yang ditinggalkan oleh as-Sangkili yang berkembang pesat di tanah Minang yang terkenal dengan religiusnya itu.. as-Sankili meninggal dan dikuburkan di Kuala, mulut sungai Kapuas. Tempat tersebut kini menjadi tempat ziarah yang banyak dikunjungi banyak orang. Sedang Muhamad Yusuf al-Makasary setelah bertemu dengan gurunya yakni Syaikh Abu Barakat Ayyub bin Ahmad bin Ayyub al-Kholwati al-Khurosy as-Syami ad-Dimasqy, kemudian diberi otoritas untuk menjadi kholifah bagi aliran Thariqot Kholwatiyah dan diberi gelar dengan Taj al-Kholwati ( Mahkota Kholwati ). Setelah kembali ke Aceh ia pun mulai mengembangkan paham Kholwatiyah di tanah Rencong ini.[15]
Adapun Nuruddin Muhammad bin Ali bin Muhammad ar-Raniri masuk ke tanah Aceh pada masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda. Pada masa itu yang berperan sebagai mufti Kerajaan adalah Syamsudi As- Sumatrani, putra kelahiran Aceh yang diberi gelar ulama' dan berpemahaman Sufi Wujudiyah. Dikarenakan kedudukan yang disandangnya cukup strategis, maka dengan mudah ia mengembangkan paham yang dianutnya itu. Syamsudin ini bekerja sama dengan Hamzah Fansuri, seorang ulama yang banyak mengekspresikan pemahamannya melalui keindahan kata (prosa). Dan dari beberapa catatan literatur diperoleh informasi, bahwa orang-orang Indonesia dan Melayu yang studi di Timur Tengah, kemudian pulang ke Nusantara dan menyebarkan ajaran tasawuf (tarekat) masih banyak lagi. Ada beberapa nama yang perlu di sebutkan di sini mengingat keterkaitannya dalam penyebaran tarekat di Indonesia yang hingga sekarang ajarannya masih berujud. Mereka adalah Abdus Shomad al-Palimbani dan Muhammad Arsyad al-Banjari (1710/1812 M). Nama terakhir ini termasuk yang mampu merombak wajah Kerajaan Banjar di Kalimantan Selatan. Bahkan karya bukunya yang banyak dikaji di beberapa wilayah Indonesia dan Asia Tenggara, Sabil al-Muhtadiin, kini diabadikan sebagai nama masjid besar di Kota Banjar Masin.[16]
Abdus Shomad al-Palimbangi, dan Muhammad Arsyad al-Banjary serta dua rekan mereka, Abdul Wahab (Sulsel) dan Abdurrahman (Jakarta) merupakan orang-orang Tarekat yang berguru kepada Syaikh Muhammad As Saman, selain itu tersebut pula nama-nama lainnya sepeti Nawawi al-Bantani ( 1230 -1314 M ), Ahmad Khotib as-Sambasi, Abdul Karim al Bantani, Ahmad Rifa'I Kalisasak, Junaid al-Batawy, Ahmad Nahrowi al- Banyumasi ( wafat 1928 M ), Muhammad Mahfudz at-Termasi ( 1842- 1929 M ), Hasan Musthofa al-Garuti ( 1852-1930 M )dan masih banyak lagi yang lainnya. Sebagian besar dari mereka pulang kembali dan menyebarkan ajarannya di Indonesia .namun demikian, tidak semua orang yang belajar di tanah Arab kembali dengan membawa ajaran baru atau terperangkap dalam pemahaman tasawuf, Ahmad bin Khotib bin Abdul Latief al-Minangkabawi ( 1816-1916 M ) adalah salah satu contohnya. Beliau inilah yang mula-mula berani menyatakan pendiriannya membatalkan amalan-amalan ahli tarekat, terutama sekali tarekat Naqsabandiyah yang selalu menghadirkan Syaikhnya dalam ingatan saat ber "Tawwajjuh". Syaikh Ahmad bin Khotib memfatwakan kepada umat untuk kembali kepada ajaran Islam yang benar menurut Al-Qur'an dan As- Sunnah serta menghindarkan diri dari perbuatan syirik dan mengharamkan penghadiran guru ketika beribadah sebagaimana yang telah banyak dilakukan oleh para penganut tarekat Naqsabandiyah.[17]
Pendapat yang berkembang di kalangan Ahlu Tarekat, dewasa ini di Indonesia berkembang dua macam kelompok tarekat, yaitu tarekat mu'tabarah dan ghairu mu'tabarah. Beberapa kelompok yang tergolong mu'tabarah seperti; Qodariyah, Naqsyabandiyah, Tijaniyah, Syathariyah, Syadzaliyah, Khalidiyah, Samaniyah dan Alawiyah. Dari sekian banyak Thariqot mu'tabarah (berdasarkan muktamar NU di Pekalongan tahun 1950, dinyatakan 30 macam Thariqot yang di nilai mu'tabarah ), Thariqot Naqsabandiyah - Qodariyah merupakan yang terbesar. Tarekat Qodariyah Naqsyabandiyah cukup meluas perkembangannya. Di Jawa Barat salah satu pusat penyebaran adalah di pesantren Suryalaya, Tasikmalaya, yang kini dipimpin Kiai Shahibul Wafa' Tajul Arifin alias Abah Anom. Berdasar silsilah, keberadaan Tarekat Qodariyah-Naqsabandiyah di Pesantren Suralaya, berasal dari Mursyid Ahmad Khatib As-Sambasi. Mursyid satu ini memiliki tiga orang murid yang bernama Syaikh Abdul Karim Al-Bantani, Syaikh Khalil Bangkalan dan Syaikh Thalhah dari kali sapu, Cirebon, dari Syaikh Thalhah inilah Abah Sepuh ( ayah Abah Anom) menerima estafet Tarekat Qodariyah-Naqsabandiyah dan dari Abah Sepuh lantas di turunkan kepada putranya, Abah Anom hingg sekarang.[18]
Selain ragam tarekat yang telah disebutkan di muka, masih banyak lagi bentuk-bentuk tarekat yang kini berkembang di Indonesia. Di Jawa barat berkembang Tarekat Idrisiyah, Qodaryah-Idrisiyah, Syathariyah, Syathariyah-Muhammadiyah, Tarekat Lahir Bathin dan Tarekat Tijaniyah. Nama Tarekat terakhir ini salah satu pusat penyebarannya adalah di Cirebon adapun di Sumatera Selatan berkembang Tarekat Shalawah. Di Jambi selain Naqsyabandiyah juga berkembang Tarekat Mufaridiyah. Sedang di Kalimantan Selatan berkembang Tarekat Qadariyah-Nadsabandiyah serta di Sulsel Tarekat Khalwatiyah Saman.[19]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar