PERKEMBANGAN KEILMUAN ISLAM
DIINDONESIA
1. Perkembangan Ilmu Fiqih
Dalam sejarah Islam di
Indonesia, gagasan purifikasi pernah menjadi agenda penting dari kelompok Islam
modernis. Gerakan ini memfokuskan untuk menghilangkan seluruh budaya masyarakat
yang dianggap mengandung unsur takhayul, bid’ah dan khurafat. Model purifikasi
ini berusaha untuk melenyapkan keberadaan budaya lokal yang sudah turun-temurun
yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Akan tetapi, titik tolak dari apa yang
dinamakan ajaran Islam dikembalikan pada konsep yang ada pada zaman Nabi. Hal
ini kemudian berimplikasi pada pelenyapan seluruh tradisi masyarakat Indonesia
dan pengukuhan tradisi Arab yang dianggap sebagai tradisi Islam. Gagasan
tersebut pada masa sekarang kembali muncul dari gerakan fundamentalis yang
tumbuh subur di Indonesia. Mereka berusaha menerapkan syari’ah Islam dan ajaran
Islam secara kaffah. Sebagaimana para pendahulunya, titik tolak dari apa yang
disebut ajaran Islam, dikembalikan pada konsep yang ada pada zaman Nabi.
Fenomena ini menumbuhkan berbagai implikasi dari perilaku mereka dalam
bermasyarakat. Dalam hal busana misalnya, mereka berusaha mencontoh Nabi dengan
menggunakan jubah ala Arab
. Kemudian mereka juga memelihara jenggot, bercadar, menggunakan tema-tema Arab sebagai pengganti dari tema lokal dan lain sebagainya. Dengan munculnya fenomena ini, tentunya eksistensi budaya lokal menjadi terpinggirkan. Gerakan modernisme berusaha menghilangkan budaya selamatan, musik gamelan dan banyak tradisi lokal yang dianggap berbau Hindu dan kejawen. Gerakan Islam fundamentalis berusaha menghilangkan seluruh budaya lokal dan menggantinya dengan sistem ajaran Islam model Arab masa Nabi.[3]
. Kemudian mereka juga memelihara jenggot, bercadar, menggunakan tema-tema Arab sebagai pengganti dari tema lokal dan lain sebagainya. Dengan munculnya fenomena ini, tentunya eksistensi budaya lokal menjadi terpinggirkan. Gerakan modernisme berusaha menghilangkan budaya selamatan, musik gamelan dan banyak tradisi lokal yang dianggap berbau Hindu dan kejawen. Gerakan Islam fundamentalis berusaha menghilangkan seluruh budaya lokal dan menggantinya dengan sistem ajaran Islam model Arab masa Nabi.[3]
Munculnya fenomena di
atas memunculkan kegelisahan dari beberapa pemikir di Indonesia.
Gagasan-gagasan untuk membentuk karakter hukum Islam yang bersifat lokal
tergagas dalam pemikiran para intelektual muslim. Hasbi as-Shiddiqy misalnya
yang pernah mencoba mengintrodusir gagasan fiqh Indonesianya. Dalam hal ini
Hasbi ash-Shiddiqy terpengaruh oleh adanya konsep fiqh Hijaz, fiqh Mesir dan
fiqh - fiqh lokal lainnya yang muncul di beberapa negara muslim. Keprihatinan
Hasbi as-Shiddiqy juga terkait dengan ketidakmampuan ulama Indonesia untuk
berijtihad sesuai dengan kepribadian Indonesia, sehingga sering kali
mengaplikasikan fiqh Mesir atau fiqh Hijaz di masyarakat atas dasar taklid.[4]
Lebih lanjut, dengan kelemahan ulama Indonesia yang tidak mampu melahirkan fiqh
yang berkepribadian Indonesia dan menyadari ketidakmungkinan akan munculnya
pemikiran progresif dari kalangan ulama konservatif, Hasbi kemudian mengajak
elemen Perguruan Tinggi Indonesia untuk mencetak kader-kader mujtahid yang akan
meneruskan proyek fiqh Indonesia.[5]
Salah satu yang menarik
untuk dicermati, bahwa untuk membentuk fiqh Indonesia, Hasbi as-Shiddiqy
menekankan pentingnya kesadaran dan kearifan untuk melakukan refleksi historis
atas pemikiran hukum Islam pada masa awal perkembangannya. Perspektif ini
mengajarkan bahwa hukum Islam baru bisa berjalan dengan baik jika ia sesuai
dengan kesadaran hukum masyarakat, yakni hukum yang dibentuk oleh kesadaran
lingkungan, atau dengan kebudayaan dan tradisi setempat. Dalam hal inilah Hasbi
as-Shiddiqy mengkonsepsikan bahwa mempertimbangkan kehadiran tradisi (adat,
‘urf) setempat sebagai acuan pembentukan sebuah format hukum Islam baru menjadi
satu keniscayaan.[6]
Konsepsi ini dilandasi
oleh pemikiran egalitarianisme Islam yang berkonsekuensi bahwa semua ‘urf
dalam masyarakat dapat dijadikan sumber hukum. Dengan demikian hal ini
menafikan ‘urf dari masyarakat Arab saja yang bisa menjadikan podasi dalam
perumusan hukum. Bagi Hasbi as-Shiddiqy, semua ‘urf selama tidak bertentangan
dengan prinsip ajaran Islam dan dalam batas-batas tertentu dapat diterima
sebagai sumber hukum Islam.[7]
Selain itu, Abdurrahman Wahid juga mengonsepkan adanya pribumisasi Islam.
Pribumisasi Islam dimaknai sebagai upaya untuk mengokohkan kembali akar budaya
kita, dengan tetap berusaha menciptakan masyarakat yang taat beragama. Dalam
pemikirannya, Wahid mencoba memosisikan Islam dan budaya lain dalam posisi
dialogis. Dalam hal ini Abdurrahman Wahid menegaskan bahwa antara Islam dan
paham pemikiran lain atau budaya lain berlangsung proses saling mengambil dan
saling belajar. Konsekuensi logis dari keterbukaan seperti ini adalah keharusan
untuk mendudukkan Islam hanya sebagai faktor penghubung antara berbagai budaya
lokal. Dalam melayani semua budaya lokal itu (akan) menumbuhkan universalitas
pandangan baru tanpa tercabut dari akar kesejarahan masing-masing.[8]
Dengan dasar demikian, Abdurrahman Wahid menolak gerakan “Islamisasi”, dan
“Arabisasi” atau “formalisasi ajaran Islam dalam ranah budaya”. Sejak awal,
Abdurrahman tidak menjadikan Islam sebagai alternatif. Konsekuensinya, segenap
ajaran agama yang telah diserap oleh kultur lokal tetap dipertahankan dalam
bingkai lokalitas tersebut. [9]
Dari kedua gagasan
tersebut, paling tidak dapat ditarik dua paradigma penting hukum Islam yang
harus diambil dalam proses membentuk hukum Islam khas Indonesia, yaitu; pertama,
kontekstual. Yakni Islam dipahami sebagai ajaran yang terkait dengan dimensi
zaman dan tempat. Konsekuensinya, perubahan zaman dan tempat menjadi
meniscayakan untuk melakukan penafsiran dan ijtihad. Dengan kemampuan melakukan
adaptasi inilah sesungguhnya Islam bisa benar-benar salih li kulli zaman wa
makan; kedua, menghargai tradisi lokal. Karakter ini dibangun dari
kenyataan sejarah bahwa Islam tidak dapat dilepaskan dari tradisi masyarakat
pra-Islam. Bahkan dalam faktanya, Islam telah mengadopsi tradisi-tradisi lokal
yang berkembang di masyarakat Arab. Dengan demikian, Islam memosisikan tradisi
lokal bukan dalam posisi obyek yang harus ditaklukkan, tetapi Islam
memosisikannya dalam dimensi dialogis
Kedua hal tersebut, dalam
kenyataannya sering kali dilupakan. Implikasinya, hukum Islam masa Nabi
Muhammad SAW dipahami sebagai konstruksi hukum yang datang dari langit dan
terlepas dari konteks sosiokultural yang ada di masyarakat Arab. Bahkan lebih
dari itu, hukum Islam zaman Nabi Muhammad SAW dipahami sebagai citra ideal yang
harus diaplikasikan di seluruh kondisi zaman dan tempat. Sebagai misal adalah
terkait dengan jilbab di Indonesia. Dalam penggunaannya, apa yang dimaksud
dengan jilbab sering kali dipahami sebagai apa yang digunakan oleh masyarakat
Arab. Hal ini tentunya kurang tepat karena jilbab bagi masyarakat Indonesia
seharusnya disesuaikan dengan kondisi, situasi dan budaya Indonesia. Setiap
daerah di Indonesia mempunyai kebiasaan yang berbeda dalam berpakaian. Di
samping itu, mereka juga mempunyai pakaian tradisional tersendiri, seperti
kebaya yang banyak digunakan oleh masyarakat Jawa dan baju kurung yang ada di
Minang. Kalau dilihat, karakter pakaian tersebut hampir mirip dengan jilbab
gaya Arab. Bedanya hanya berkaitan dengan masalah penutup kepala. Hal ini dapat
dimengerti, berkaitan dengan karakter masyarakat Indonesia yang memandang
daerah kepala sebagai bagian yang biasa nampak. Hal tersebut tentunya sangat
berlainan dengan keadaan di daerah lain, khususnya Jazirah Arab. Perbedaan
inilah yang seharusnya menjadikan dasar untuk merumuskan hukum, sesuai dengan
kaidah “al-hukm yadur ma’al ‘illat wujudan wa ‘adaman”.
2. Perkembangan Teologi
Secara historis,
teologi islam yang di Barat dikenal dengan istilah teologi bermula sebagai
sebuah advokasi keagamaan terhadap ketimpangan sosial (teologi sebagai sebuah axiologi/Theology
as Axiology) yang berkembang pada masanya. Untuk kepentingan ini,
doktrin keagamaan diinterpretasikan secara rasional, sehingga dapat dijadikan
argumen teologis untuk membacking pemikiran/gagasan/idea yang substansinya
menentang ketimpangan sosial yang sedang terjadi. Terhadap masalah ini, Philip
Bob Cock menyatakan Theology is (A) Rational interpretation of religious
faith, practice, and exercise (teologi yaitu upaya memahami keyakinan,
perbuatan, dan pengalaman keagamaan secara rasional).[10]
Belakangan, teologi
berkembang menjadi sebuah metodologi (Theology as Method). Sebagai sebuah
metodologi/pendekatan, teologi merupakan salah satu di antara beberapa
pendekatan yang telah digunakan oleh para ahli sains masa lalu. Di dalam
perkembangannya, pendekatan ini juga digunakan oleh para ahli keislaman.
Seorang pakar yang banyak mengkaji Perbandingan Agama menyatakan bahwa Theological
method must always be a secondary matter for comparative theology, subsidiary
to converse interpretations of the specific symbols of a particular religious
tradition. It is helpful, therefore, to reflect on what kind of general
theological method may be contemporary comparative theologians despite
otherwise sharp differences among them.[11]
Pada masa-masa berikutnya,
barulah teologi berkembang menjadi sebuah disiplin ilmu (Theology as Science).
Sebagai sebuah disiplin ilmu, di dunia islam, teologi islam17 berkembang sejak
Abu Hasyim dan kawannya Imam al-Hasan bin Muhammad bin Hanafiah, para tokoh
Mu’tazilah. Adapun orang pertama yang membentangkan pemikiran ilmu kalam secara
lebih baik lewat logikanya yaitu Imam al-Asy’ari, seorang tokoh teologi Suni,
dengan karya yang terkenal al-Maqalat, juga al-Ibanah ‘an ushul
al-diyanah. Teologi ini selain mempunyai obyek kajian tersendiri, yaitu
membicarakan ketuhanan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan-Nya, maksudnya
keyakinan kebenaran keagamaan islam; ilmu ini juga telah tersusun dengan
baik/tersistematisasikan di dalam membahas obyek kajian itu; dan mempunyai metodologi
tersendiri yaitu dialog ilmiah keagamaan, serta dimaksudkan untuk memenuhi
kebutuhan salah satu dari tiga unsur keimanan seorang Muslim, yaitu dalam aspek
nuthqun bi al-lisan.[12]
Berkenaan dengan
itu, di dunia Barat seorang teolog, menyatakan bahwa di dalam teologi
berkembang istilah Teologica Systematika. Teologi ini menguraikan
tentang dogmatika, etika, dan filsafat agama. Ada juga istilah Teologia Historica.
Teologi ini menguraikan tentang kitab suci, sejarah Gereja, sejarah dogma, dan
sejarah agama. Juga ada istilah Teologia Practica. Teologi ini
menguraikan tentang homeletik, katechetik, dan liturgi. Pada akhir-akhir ini
teologi islam, telah berusaha menjadi sebuah advokasi bagi permasalahan sosial,
atau teologi menjadi sebuah axiologi. Hal ini tampak dengan berkembangnya
istilah-istilah seperti teologi feminisme, teologi gender, teologi kemiskinan,
teologi kaum tertindas, teologi transformatif, teologi pembebasan, dan berbagai
macam istilah lagi. Semua peristilahan itu pada dasarnya merupakan sebuah
kajian ilmiah yang di dalamnya berbicara mengenai ayat-ayat Al-Qur’an dan sunah
Rasul-Nya sebagai sumber primer keagamaan islam yang secara tematik
mengadvokasi hal-hal yang berkait dengan ketimpangan sosial.[13]
3. Perkembangan Tasawuf
Menelusuri mewabahnya aliran ini di Indonesia, maka hal ini tidak lepas dari
pada peran andil orang-orang yang melakukan studi (belajar) ke negara Timur
tengah. Lebih khusus lagi adalah Arab Saudi yang pada waktu itu belum diwarnai
dengan gerakan tajdid (pembaharuan) yang dipelopori oleh Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahab ( Beliau lahir pada tahun 1115 H / 1695 M dan meninggal pada tahun
1206 H / 1786 M). Di antara para pelopor berkembangnya aliran tasawuf di
Indonesia, sebagaimana yang disebutkan di beberapa literatur di antaranya
adalah : Nuruddin Ar-Raniri ( wafat tahun 1658 M ), Abdur Rouf as-Sinkili (1615
-1693 M ), Muhammad Yusuf al-Makkasary ( 1629-1699 M). Mereka belajar di
kota Makkah dan melakukan kontak keilmuan dengan para syaikh dari mancanegara
yang bermukim di kota Makkah. Di antara para syaikh itu adalah Ahmad
al-Quraisy, Ibrohim al-Kuroni dan Muhammad al-Barzanji. Abdurrouf as-Sinkili
setelah belajar beberapa lama kemudian diangkat sebagai khalifah Tarekat
Syatariyah oleh Muhammad Al-Quraisy. Dirinya kembali ke Aceh setelah gurunya
meninggal. Keberadaannya di tanah Aceh cukup dipandang oleh para penduduk
bahkan dijadikan sebagai panutan di masyarakat, bermodal kepercayaan yang telah
diberikan masyarakat kepadanya serta kegigihan murid-muridnya, maka dengan
mudahnya ia berhasil mengembangkan ajaran Thariqot Sufiyahnya dengan
perkembangan yang sangat pesat hingga paham itu tersebar sampai ke Minangkabau
(Sumatra Barat). Salah satu murid Abdur Rouf as-Sinkili yang berhasil
menyebarkan paham ini adalah Burhanuddin. [14]
Setelah meninggal kuburan
Burhanuddin ini menjadi pusat ziarah di mana para penziarah itu melakukan
praktek peribadatan yang aneh. Timbulnya aliran yang aneh ini menimbulkan
pertentangan yang tajam, terutama setelah beberapa orang yang datang dari Arab
Saudi yang pada waktu itu sudah terwarnai dengan aliran pembaharuan (Ahlusunnah
wal jama'ah) yang dibawa oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab. Pertentangan
ini berlanjut yang pada akhirnya pecah perang Padri. Demikianlah jejak
pemahaman yang ditinggalkan oleh as-Sangkili yang berkembang pesat di tanah
Minang yang terkenal dengan religiusnya itu.. as-Sankili meninggal dan
dikuburkan di Kuala, mulut sungai Kapuas. Tempat tersebut kini menjadi tempat
ziarah yang banyak dikunjungi banyak orang. Sedang Muhamad Yusuf al-Makasary
setelah bertemu dengan gurunya yakni Syaikh Abu Barakat Ayyub bin Ahmad bin
Ayyub al-Kholwati al-Khurosy as-Syami ad-Dimasqy, kemudian diberi otoritas
untuk menjadi kholifah bagi aliran Thariqot Kholwatiyah dan diberi gelar dengan
Taj al-Kholwati ( Mahkota Kholwati ). Setelah kembali ke Aceh ia pun mulai
mengembangkan paham Kholwatiyah di tanah Rencong ini.[15]
Adapun Nuruddin Muhammad
bin Ali bin Muhammad ar-Raniri masuk ke tanah Aceh pada masa kekuasaan Sultan
Iskandar Muda. Pada masa itu yang berperan sebagai mufti Kerajaan adalah
Syamsudi As- Sumatrani, putra kelahiran Aceh yang diberi gelar ulama' dan
berpemahaman Sufi Wujudiyah. Dikarenakan kedudukan yang disandangnya cukup
strategis, maka dengan mudah ia mengembangkan paham yang dianutnya itu.
Syamsudin ini bekerja sama dengan Hamzah Fansuri, seorang ulama yang banyak
mengekspresikan pemahamannya melalui keindahan kata (prosa). Dan dari beberapa
catatan literatur diperoleh informasi, bahwa orang-orang Indonesia dan Melayu
yang studi di Timur Tengah, kemudian pulang ke Nusantara dan menyebarkan ajaran
tasawuf (tarekat) masih banyak lagi. Ada beberapa nama yang perlu di sebutkan
di sini mengingat keterkaitannya dalam penyebaran tarekat di Indonesia yang
hingga sekarang ajarannya masih berujud. Mereka adalah Abdus Shomad
al-Palimbani dan Muhammad Arsyad al-Banjari (1710/1812 M). Nama terakhir ini termasuk
yang mampu merombak wajah Kerajaan Banjar di Kalimantan Selatan. Bahkan karya
bukunya yang banyak dikaji di beberapa wilayah Indonesia dan Asia Tenggara,
Sabil al-Muhtadiin, kini diabadikan sebagai nama masjid besar di Kota Banjar
Masin.[16]
Abdus Shomad
al-Palimbangi, dan Muhammad Arsyad al-Banjary serta dua rekan mereka, Abdul
Wahab (Sulsel) dan Abdurrahman (Jakarta) merupakan orang-orang Tarekat yang berguru
kepada Syaikh Muhammad As Saman, selain itu tersebut pula nama-nama lainnya
sepeti Nawawi al-Bantani ( 1230 -1314 M ), Ahmad Khotib as-Sambasi, Abdul Karim
al Bantani, Ahmad Rifa'I Kalisasak, Junaid al-Batawy, Ahmad Nahrowi al-
Banyumasi ( wafat 1928 M ), Muhammad Mahfudz at-Termasi ( 1842- 1929 M ), Hasan
Musthofa al-Garuti ( 1852-1930 M )dan masih banyak lagi yang lainnya. Sebagian
besar dari mereka pulang kembali dan menyebarkan ajarannya di Indonesia .namun
demikian, tidak semua orang yang belajar di tanah Arab kembali dengan membawa
ajaran baru atau terperangkap dalam pemahaman tasawuf, Ahmad bin Khotib bin
Abdul Latief al-Minangkabawi ( 1816-1916 M ) adalah salah satu contohnya.
Beliau inilah yang mula-mula berani menyatakan pendiriannya membatalkan
amalan-amalan ahli tarekat, terutama sekali tarekat Naqsabandiyah yang selalu
menghadirkan Syaikhnya dalam ingatan saat ber "Tawwajjuh". Syaikh
Ahmad bin Khotib memfatwakan kepada umat untuk kembali kepada ajaran Islam yang
benar menurut Al-Qur'an dan As- Sunnah serta menghindarkan diri dari perbuatan
syirik dan mengharamkan penghadiran guru ketika beribadah sebagaimana yang
telah banyak dilakukan oleh para penganut tarekat Naqsabandiyah.[17]
Pendapat yang berkembang
di kalangan Ahlu Tarekat, dewasa ini di Indonesia berkembang dua macam kelompok
tarekat, yaitu tarekat mu'tabarah dan ghairu mu'tabarah. Beberapa kelompok yang
tergolong mu'tabarah seperti; Qodariyah, Naqsyabandiyah, Tijaniyah, Syathariyah,
Syadzaliyah, Khalidiyah, Samaniyah dan Alawiyah. Dari sekian banyak Thariqot
mu'tabarah (berdasarkan muktamar NU di Pekalongan tahun 1950, dinyatakan 30
macam Thariqot yang di nilai mu'tabarah ), Thariqot Naqsabandiyah - Qodariyah
merupakan yang terbesar. Tarekat Qodariyah Naqsyabandiyah cukup meluas
perkembangannya. Di Jawa Barat salah satu pusat penyebaran adalah di pesantren
Suryalaya, Tasikmalaya, yang kini dipimpin Kiai Shahibul Wafa' Tajul Arifin
alias Abah Anom. Berdasar silsilah, keberadaan Tarekat Qodariyah-Naqsabandiyah
di Pesantren Suralaya, berasal dari Mursyid Ahmad Khatib As-Sambasi. Mursyid
satu ini memiliki tiga orang murid yang bernama Syaikh Abdul Karim Al-Bantani,
Syaikh Khalil Bangkalan dan Syaikh Thalhah dari kali sapu, Cirebon, dari Syaikh
Thalhah inilah Abah Sepuh ( ayah Abah Anom) menerima estafet Tarekat
Qodariyah-Naqsabandiyah dan dari Abah Sepuh lantas di turunkan kepada putranya,
Abah Anom hingg sekarang.[18]
Selain ragam tarekat yang
telah disebutkan di muka, masih banyak lagi bentuk-bentuk tarekat yang kini
berkembang di Indonesia. Di Jawa barat berkembang Tarekat Idrisiyah,
Qodaryah-Idrisiyah, Syathariyah, Syathariyah-Muhammadiyah, Tarekat Lahir Bathin
dan Tarekat Tijaniyah. Nama Tarekat terakhir ini salah satu pusat penyebarannya
adalah di Cirebon adapun di Sumatera Selatan berkembang Tarekat Shalawah. Di
Jambi selain Naqsyabandiyah juga berkembang Tarekat Mufaridiyah. Sedang di
Kalimantan Selatan berkembang Tarekat Qadariyah-Nadsabandiyah serta di Sulsel
Tarekat Khalwatiyah Saman.[19]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar